SYAIR MEKAH DAN MADINAH

IBADAH HAJI – Catatan Seorang Ulama Minangkabau tentang Ibadah Haji pada Awal Abad ke-19 oleh Suryadi Bab ini untuk pertama kalinya menyajikan dengan lengkap transkripsi teks Syair Mekah dan Madinah’. Syair ini, yang aslinya ditulis dalam huruf Arab- Melayu (Jawi) dan berbahasa Melayu-Minangkabau, adalah sebuah catatan yang cukup awal yang ditulis oleh seorang Minangkabau tentang prosesi ibadah haji dan keadaan negeri Mekkah dan Madinah. Lama syair ini diabaikan oien para pengkaji yang ingin mengetahui kesan-kesan orang Melayu tentang wadan haji yang terekam dalam teks-teks Melayu klasik. Selama ini orang udan berkali-kali membicarakan Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Mekah (1854) sebagai teks Melayu yang awal, meskipun bukan yang tertua, yang merekam kesan-kesan orang Melayu mengenai ibadah haji. Padahal teks Syair Mekah dan Madinah, yang tidak kalah klasik dan menarik, sudah muncul kurang lebih 20 tahun sebelum Kisah Pelayaran Abdullah selesai ditulis. Demikianlah umpamanya, Matheson dan Milner (1984) yang “memotret” persepsi orang Melayu terhadap ibadah haji dan Tanah Suci Mekkah dalam lima teks Melayu’ tampaknya juga telah

 

SYAIR 250 •

mengabaikan teks Syair Mekah dan Madinah. Kedua akademisi itu sepertinya Dugaan saya, Syair Mekah dan Madinah lama diabaikan dalam studi- studi akademik tentang ibadah haji di kalangan orang Melayu mungkin karena teksnya ditulis dalam bentuk syair, tidak dalam bentuk prosa yang memang lebih banyak jumlahnya dan lebih disukai peneliti Eropa di zaman kolonial. Saya kira inilah salah satu penyebab mengapa Kisah Pelayaran Abdullah gagal mengidentifikasi keberadaan syair ini. ke Mekah yang ditulis dalam bentuk prosa sering sekali mendapat perhatian para peneliti’. Lagi pula Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dekat dengan para penginjil Eropa yang diasisteninya, seperti Pendeta Thomsen dan Keasberry Kedekatan Abdullah dengan “patron” Eropanya itu secara langsung at tidak tentu membantu promosi karya-karyanya, dengan cara menerbitkann atau mengadakan penilaian serta penelitian terhadap karya-karya tersebu dan penulisnya. Keadaannya berbeda dengan Syair Mekah dan Madinok yang, baik di era naskah maupun di era cetak batu (lithography), diusahakan oleh orang-orang Melayu sendiri. Akan tetapi mungkin karena itu pula syair ini luput dari worried eyes pemerintah kolonial Belanda dan Inggris, yang cenderung mengontrol teks-teks yang mengandung syiar tentang Islam dan Tanah Arab karena dianggap dapat menggelorakan semangat anti penjajahan di kalangan penduduk pribumi Nusantara. Tidak seperti Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah yang sempat “disensor” oleh para missionaris seperti Klinkert (lih. Sweeney 2005) dan selama zaman kolonial lebih diapresiasi oleh para sarjana Barat (khususnya Belanda dan Inggris), Syair Mekah dan Madinah justru telah memperoleh apresiasi cukup luas di kalangan kaum pribumi sendiri, khususnya di Sumatra dan Semenanjung Melayu, sehinge teks ini sempat dijadikan semacam Islamic guide yang awal oleh para ca jemaah haji Nusantara yang akan pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah (lih. Wieringa 2006; Suryadi 2006a). Jika kedua teks itu dibandingkan, maka terlihat adanya perbedaan yang cukup mencolok: teks Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah lebih banyak berkisah tentang suka-duka di perjalanan sejak bertolak dari Singapura sampai

Baca juga :   Tips Memilih Rumah Bagi Pengantin Baru

 

ke pelabuhan Jedah. Sayang sekali Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi belum sempat mendeskripsikan situasi di Mekkah karena keburu meninggal ketika baru beberapa hari menginjakkan kaki di Kota Suci itu pada pertengahan Mei 1854. Sebaliknya, teks Syair Mekah dan Madinah lebih banyak menggambarkan keadaan di Mekkah dan Madinah serta prosesi ibadah haji itu sendiri. Keadaan di perjalanan hanya mengambil tempat satu bait saja ln teks syair itu. Berbeda dengan Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah ang lebih menggambarkan kesengsaraan selama di perjalanan, yang tentunya membuat pembaca merasa takut dan ngeri, teks Syair Mekah dan Madinah iustru menggambarkan prosesi ibadah haji dengan penuh kegembiraan dan rasa senang, yang tampaknya telah mengundang minat para pembacanya untuk pergi ke Mekkah (lih. Snackey 1888:11)*.

Kombinasi yang elok dalam penggunaan unsur bahasa Arab, Minangkabau dan Melayu dalam Syair Mekah dan Madinah menunjukkan kualitas sastrawi pengarangnya. Dengan gaya hiperbola yang menawan dan kaya dengan analogi-analogi yang merujuk kepada lingkungan di negeri sendiri (antara lain dikatakan bahwa tiang mesjid di Mekkah kira-kira sebesar batang durian di negeri kita, bait 26; menara Masjidalharam setinggi pohon nyiur di negeri kita, bait 103), pengarang syair ini menghadirkan fantasi di kepala orang Melayu, yang membuat mereka merasa terpanggil untuk datang ke Mekkah. Daya tarik Mekkah sebagai “asal dunia” (bait 223) sudah lama merasuki pikiran umat Islam di Nusantara. Mereka melakukan perjalanan jauh ke Jazirah Arab yang penuh resiko: ditipu dan dijadikan pekerja paksa (ingat kasus firma Assegaf di perkebunan Pulau Kukub), mati di kapal karena stress dan penyakit, tenggelam di laut karena kapal yang mereka tumpangi dihantam badai, dirampok orang Baduy, ditipu oleh calo-calo haji di Semenanjung Malaya (ingat istilah “haji Singapura” dan “haji Penang”), dan terinfeksi penyakit menular (lih. Patah 1935). Tak cuma itu, sikap taklid terhadap ibadah naji telah menyebabkan tidak sedikit jemaah haji Nusantara yang ingin tinggal selamanya di tanah Arab dan dalam pikiran mereka kematian di Tanah Suci Ukan langsung dibalas Tuhan dengan surga (lih. bait 243 & 247). Namun, alam kenyataan “sebenarnja hadji itoe didalam lakoe tabi’atnja hampir ta’ ada

Baca juga :   Mengenal Dunia Galvalum

 

bédanja dengan orang kampoeng jang boekan hadji. Hal memakai desta memakai serban itoe beloem akan mendjadi oekoeran tabi’at serta fi’il mea itoe masing-masing, karena diantara kedoea kaoem itoe sama-sama didam kiaji, moertad, toekang memboengakan oeang dan tani jang djoedjoer, sed maling dan pendjoedipoen ada poela didapati dikedoea pihak meréka ite Fi’il dan tabi’at jang baik atau jang boeroek itoe mémang telah terkandoeng didalam kalboe masing-masing sebeloem meréka pergi ke Mekkah, da sepoelang dari sana maka sifat dan tabi’atnja itoe tentoe tidak akan beroebah dengan sekojong-kojong” (Djajadiningrat 1936: 228). Dalam catatan mengenai pengalamannya naik haji di tahun 1924, Regent Bandung, R. A. A. Wiranatakoesoema melukiskan betapa kuatnya daya tarik ibadah haji, termasuk di kalangan orang-orang yang kurang mampu yang karena kebodohannya mempunyai anggapan bahwa tidak menunaikan ibadah haji merupakan suatu kemurtadan terhadap kewajiban agamany. bahwa ibadah haji dapat menghapus segala dosa. Mereka pergi ke Mekka menimpakan kesengsaraan kepada jemaah haji itu sendiri maupun kep istri dan anak-anak mereka, yang seringkali ditinggalkan tanpa Ja biaya hidup (Wiranatakoesoema 1925:1). Sikap itu dibentuk tidak saja o ceramah para ulama tetapi juga oleh teks-teks keagamaan dan sastra saya yang bernuansa Islam. Teks Syair Mekah dan Madinah adalah salan di antaranya: di dalamnya sang pengarang menggambarkan bahwa selama berada di Tanah Suci Allah mengabulkan semua permintaan kaum muslimin dan memberi mereka pahala yang berlipat ganda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WhatsApp us